Ikuti Kajian Islam KWPSI
Setiap Rabu, Pk.21.00-23.00

Live di FB KWPSI

Konversi Bank Konvensional ke Syariah di Aceh Jangan Dihambat

Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis Islam UIN Ar Raniry, Prof Dr Nazaruddin A. Wahid
Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis Islam UIN Ar Raniry, Prof Dr Nazaruddin A. Wahid


Banda Aceh
--- Pelaksanaan syariat Islam di Aceh berlaku sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999. Legalitas itu kemudian diperkuat dengan Nomor 11 Tahun 2006, yang kemudian dilaksanakan dengan aturan turunan berupa Qanun Nomor 8 Tahun 2004.

Penerapan syariat Islam sejak itu diberlakukan di Aceh kemudian tidak hanya dari sisi akidah saja, tetapi juga dari sisi ibadah dan muamalah. Namun, penerapan ekonomi syariah baru dilakukan dalam waktu dua tahun terakhir, ditandai dengan konversi Bank Aceh dari sistem konvensional menjadi Bank Aceh Syariah.

Dari dua dasar hukum itu kemudian diperkuat dengan dukungan dari publik di Aceh, akhirnya Bank Aceh total menggunakan sistem syariah.

"Dan itu ditiru oleh banyak daerah di Indonesia, termasuk Bank NTB, Bank Nagari Sumatera Barat. Saya kira ini contoh yang baik dan perlu kita gagas ke depan," ujar Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis Islam (FEBI) UIN Ar Raniry, Prof Dr Nazaruddin A. Wahid, saat menjadi pemateri dalam pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) yang dilaksanakan di ruang VIP Kantin SMEA Banda Aceh, Rabu, 2 September 2020 malam.

Turut hadir narasumber lainnya dalam acara tersebut Area Manager Bank Syariah Mandiri Acrh, Firmansyah, dan dipandu oleh Dosi Elfian. Pengajian rutin ini dihelat secara daring dengan menerapkan protokol kesehatan, serta disiarkan secara langsung melalui channel YouTube Glamour Pro dan Facebook KWPSI.

Prof Nazaruddin menambahkan, konversi Bank Aceh konvensional ke sistem syariah kemudian diikuti perbankan lain. Berdasarkan qanun yang telah ditetapkan, menurut Prof Nazaruddin, bank konvensional diperbolehkan membuka Unit Usaha Syariah (UUS) sebelum mengonversi sistemnya ke syariah.

"UUS itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, hanya bersifat sementara, bersifat insidental dan hanya berlaku hingga tahun 2023 saja," kata Nazaruddin. Setelah tahun 2023, seluruh UUS di bank konvensional kemudian tidak berlaku lagi.

Lebih lanjut, Prof Nazaruddin mengatakan semua perbankan syariah yang ada di Indonesia berasal dari bank konvensional. Di kemudian hari, bank konvensional tersebut menuju sistem perbankan syariah setelah memberlakukan UUS.

"Setelah mencapai taraf tertentu, dia (bank konvensional) kemudian mengusulkan Bank Umum Syariah (BUS). Inilah yang sekarang dilakukan oleh Bank Mandiri, BNI dan BRI. Ini semua proses," kata Nazaruddin. 

"Kalau sudah ada BUS, untuk apalagi labi-labi. Nggak penting lagi. BUS sudah ada, bank umum sudah ada," lanjutnya lagi.

Meskipun demikian, Nazaruddin menjelaskan, sistem perbankan syariah yang berlaku di Indonesia berbeda dengan penerapan di Malaysia, dan Pakistan. 

Di dua negara tersebut sistem perbankan yang diterapkan memberlakukan windows. Artinya dalam bank konvensional diperbolehkan memberlakukan dua sistem.

"(Sementara) Kita di Indonesia tidak menganut sistem windows. Tidak boleh, kenapa tidak boleh? Karena ulama Indonesia sudah memfatwakan, kita pisahlah," tambah Prof Nazaruddin. 

Dia turut mengapresiasi fatwa tersebut setelah merujuk sistem perbankan yang diberlakukan di Arab Saudi.

Menurutnya Bank Al-Rajhi di Arab Saudi tidak hanya sudah memberlakukan sistem perbankan syariah secara menyeluruh, bahkan juga telah menerapkan pemisahan bank berdasarkan jenis kelamin. Kebijakan itu, menurutnya, belum diterapkan di Indonesia.

"Di sana ada 100 (bank untuk) cabang wanita. Jadi kalau dia nasabah wanita masuk ke cabang itu, kalau pria masuk ke (bank) cabang khusus pria," ungkapnya.

Penguatan sistem perbankan syariah di Aceh kemudian diperkuat lagi dengan lahirnya Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang disusun sejak tahun 2015. Menurut Prof Nazaruddin, penyusunan Qanun LKS ini juga dilakukan setelah mendapat masukan dari KWPSI. 

Naskah Akademik Qanun LKS tersebut kemudian dimasukkan ke Biro Hukum untuk ditelaah agar tidak bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Setelah ditelaah secara mendalam, Qanun LKS ini baru dibahas di DPR Aceh pada tahun 2017. Namun pembahasan Qanun LKS di DPRA tidak selesai karena banyak sekali masalah yang harus diadopsi.

Dalam rapat yang berlangsung di DPRA tersebut sempat ada yang mengusulkan agar perbankan di Aceh menggunakan dua sistem, yaitu konvensional dan syariah. 

Akhirnya pihak pengusul Qanun LKS mengambil jalan tengah, yaitu dengan mewajibkan seluruh masyarakat Aceh untuk bertransaksi dengan sistem syariah. "Jadi proses Qanun LKS ini panjang sekali," tegas Prof Nazaruddin.

Meskipun Qanun LKS sudah dilembar daerahkan, akan tetapi Prof Nazaruddin menyebutkan ada dua permasalahan yang kemudian muncul yakni masalah substansi dan teknis. Khusus untuk persoalan substansi tidak mungkin diubah. Sementara dari sisi teknis dapat diperbaiki di kemudian hari.

"Kalau teman-teman minta untuk mengubah substansi (Qanun LKS), kita harus mengubah dulu Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 dan UU Nomor 11 Tahun 2006, dan itu bukan kewenangan Aceh. Itu kewenangan Jakarta," terangnya.

Pun begitu, Prof Nazaruddin tidak menyanggah ihwal adanya permintaan-permintaan untuk mengubah penerapan sistem perbankan syariah di Aceh. 

Namun menurutnya keinginan itu tidak dilandaskan pada prinsip semata, tetapi diduga ada kekuatan lain yang hadir untuk mengubah sistem perbankan syariah di Aceh. 

"Jika alasannya ke luar negeri, di Amerika Serikat saja kita sudah bisa bertransaksi dengan sistem perbankan syariah," pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.