Teladani Rasulullah dalam Mencintai Negeri
KWPSI.ORG -- Mencintai negeri tempat seseorang tinggal dan menetap sehari-hari dengan kondisi yang aman dan penuh kenyamanan, merupakan salah satu hal mendasar dan naluriah yang menjadi sifat asasi bagi manusia dalam kehidupan.
Karena pentingnya kecintaan pada negeri ini, Rasulullah SAW sebagai sosok pribadi yang tidak lepas dari cintanya kepada negeri, telah memberikan contoh dan mengajarkan kepada umatnya bagaimana kecintaan beliau pada negeri dan kampung halaman Mekkah sebagai tanah kelahirannya, baik ketika hidup dalam kondisi susah maupun dalam kondisi senang.
Hal ini tentunya harus menjadi pedoman dan contoh bagi umat Islam baik di Aceh maupun Indonesia pada umumnya dalam mencintai negerinya sebagai suatu rahmat pemberian Allah, sehingga wajib dijaga dari segala gangguan dan ancaman yang dapat mengacaukan kehidupan kaum muslimin.
Demikian antara lain disampaikan Ustaz H. Mursalin Basyah Lc, M.Ag, Pengurus Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) Aceh saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Rabu (1/8/2018) malam.
"Mencintai negeri tempat kita menetap hari ini adalah salah satu ajaran penting dalam Islam, dan Rasulullah telah memberikan keteladanan kepada kita bagaimana beliau mencintai Mekkah. Meskipun Rasulullah hidup dalam kesulitan dan diusir dari Mekkah oleh kafir quraisy sehingga harus hijrah ke Madinah, tapi beliau sangat mencintai Mekkah," ujar Ustaz Mursalin yang juga Dosen STAI Tgk. Chik Pante Kulu ini.
Dijelaskannya, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah mengungkapkan rasa cintanya kepada tanah kelahiran beliau, Mekkah. Hal ini bisa dlihat dalam penuturan Ibnu Abbas RA yang diriwayatkan dari Ibnu Hibban.
Yang artinya, “Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Alangkah baiknya engkau (Mekkah) sebagai sebuah negeri, dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku dari engkau, niscaya aku tidak tinggal di negeri selainmu” (HR Ibnu Hibban).
Setelah pengusiran tersebut, Nabi lantas hijrah ke kota Yatsrib yang di kemudian hari bernama Madinah. Di tempat tinggal yang baru ini, Rasulullah pun berharap besar bisa mencintai Madinah sebagaimana beliau mencintai Mekkah.
Seperti yang terungkap dalam doa beliau yang terekam dalam Shahih Bukhari. “Ya Allah, jadikan kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Mekkah, atau melebihi cinta kami pada Mekkah”.
"Dari sini jelas, cinta pada negeri bukanlah fanatisme berlebihan. Bukan berarti seolah-olah cinta negeri itu fanatik buta kepada negeri sendiri lalu mengabaikan atau bahkan merendahkan negeri lain. Cinta negeri adalah tentang pentingnya manusia memiliki tempat tinggal yang memberinya kenyamanan dan perlindungan. Cinta negeri juga tentang kemerdekaan dan kedaulatan. Sehingga siapa pun yang berusaha menjajah atau mengusir dari tanah tersebut. Islam mengajarkan untuk melakukan pembelaan. Ketika kondisi aman, mencintai tanah air adalah sebuah hal wajar, bahkan sangat dianjurkan," terangnya.
Menurut Ustaz Mursalin, hal yang sama tentunya juga harus berlaku bagi negeri kita di Aceh maupun Indonesia sebagai negeri kita, yang harus kita cintai sepenuh hati, dan jangan merasa pesimis dan benci pada negeri ini walau apapun yang terjadi.
"Hari ini kita melihat banyak masyarakat kita di negeri ini yang hidup pesimis dan merasa tidak ada harapan lagi hidup di Aceh maupun Indonesia yang dianggap sudah hancur dengan berbagai kondisi yang ada. Sikap seperti itu menunjukan kita jauh dari cinta kepada negeri seperti yang diajarkan oleh Rasulullah," terangnya.
Ustaz Mursalin kembali mengajak dan melihat kecintaan kita kepada negeri, dan tidak boleh pesimis dengan kondisi apapun yang terjadi di negeri ini, dan itu menjadi suatu ujian dari Allah yang harus kita lewati dan perbaiki, tanpa perlu benci.
"Dalam kasus kemenangan Presiden Erdogan di Turki kemarin, lalu kita bandingkan dengan negeri kita Indonesia. Kalau melihat hasil di Turki, lalu coba kita bandingkan bagaimana kehidupan dan ketaatan dalam beragama rakyat Turki dan rakyat Indonesia dalam menjalankan perintah Allah, itu baru adil," jelasnya.
Ditambahkannya, pemimpin yang dihasilkan di suatu negeri itu akan sangat tergantung proses dari rakyatnya, tidak instant begitu saja. Tidak akan mungkin rakyat yang baik dan berakhlak bagus, dipimpin oleh orang yang tidak baik.
"Kita ambil contoh dalam skala kecil saja. Di satu lorong kampung itu orang ahli ibadah semua, rajin shalat berjamaah, membaca dan mengamalkan Alquran tidak mungkin dipimpin oleh orang yang jahil dan ahli maksiat. Begitu juga dengan penduduk ahli maksiat, tidak akan mungkin dipimpin oleh pemimpin baik dan adil. Jadi semua itu berbanding lurus, bagaimana rakyatnya begitu juga pemimpinnya. Penduduk dulu yang beriman dan taqwa, baru lahir pemimpin yang baik," tegasnya.
Ia mengajak umat Islam di negeri ini agar dalam segala hal, jangan selalu melihat sesuatu itu ketika sudah ada hasil baik, tapi jarang yang melihat proses awalnya.
Pada penghujung pengajian KWPSI tersebut, Ustaz Mursalin juga menyampaikan beberapa hal yang perlu dilakukan sebagai bentuk cinta pada negeri.
Pertama, melihat sesuatu dengann berpikir positif
Kritik dan protes yang dilakukan pun untuk tujuan kebaikan.
Kedua, kedepankan persatuan umat dan masyarakat. Jika berpotensi merusak persatuan, maka harus dihindari. Begitu juga dengan informasi yang diterima, jangan asal disebarkan dan share jika bisa mengganggu persatuan.
Ketiga, maksimalkan potensi diri kita untukk berbuat terbaik kepada negeri. Apa yang kita lakukan dalam profesi kita sehari-hari, maka harus menjadi bagian dari membangun negeri.
Keempat, patuh terhadap aturan pemimpin sepanjang untuk kebaikan dan tidak untuk kemaksiatan. Seperti taat untuk membayar pajak untuk pembangunan serta menunaikan zakat untuk memberantas kemiskinan dan membangun ekonomi umat.
Tidak ada komentar: