Mengembalikan Kejayaan Peradaban Aceh dengan Teologi Moderat
KWPSI.ORG -- Teologi moderat adalah suatu pemahaman yang bersikap mengambil jalan tengah terhadap pengamalan suatu ibadah ataupun perintah dalam agama Islam untuk menjembatani antara dua sisi pemikiran yang berbeda, untuk menjaga keharmonisan umat.
Sikap ini sangat diperlukan sebagai bentuk toleransi dan saling menghargai terhadap suatu pemahamanan yang berbeda, sehingga umat Islam tidak mengklaim pihaknya yang paling benar, sementara yang lainnya disalahkan.
Karena dalam Islam juga menyerukan umatnya untuk menjadi umat yang pertengahan dengan istilah wasathiyah, dengan menggunakan dasar dalil dari Alquran Surat Al-Baqarah ayat 143.
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Dr. Jabbar Sabil MA menyebutkan, salah satu hal penting yang membuat peradaban Islam Aceh di masa lampau zaman kerajaan sangat kuat dan berjaya, adalah berjalannya pemikiran dan teologi moderat di antara dua sisi yang berbeda dengan bimbingan ulama waktu itu.
Misalnya seperti pemikiran ulama besar Aceh, Syekh Abdur Rauf Syiah Kuala yang membolehkan adanya pemimpin perempuan dengan tampilnya Ratu Safiatuddin untuk memimpin kerajaan Aceh dalam situasi darurat di masa itu.
"Teologi moderat ini sangat diperlukan di tengah beragamnya pemahaman dalil dalam beribadah, karena mampu memadukan dua pemikiran dari sisi yang berbeda untuk keharmonisan, tidak terjadi perpecahan dengan saling mengklaim paling benar, sehingga persatuan umat tetap terjaga dengan baik," ujar Jabbar Sabil.
Hal itu disampaikannya saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Rabu (2/5) malam.
Ia mencontohkan, ada pemahaman berbeda dalam ajaran agama Islam yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW seperti jenggot, surban. Juga penggunaan cadar bagi kaum perempuan dalam menutup aurat.
Di satu sisi, itu ada perintah agar kaum laki-laki berjenggot dan perempuan bercadar menutup muka. Tapi ada juga ulama-ulama kita yang ilmu agamanya tinggi tapi tidak berjenggot bahkan berkumis, jangan sampai dicap tidak menjalankan sunnah Rasul. Sementara bagi yang memilih berjenggot juga tidak boleh dicela dengan hal yang tidak baik, karena semuanya punya pemahaman masing-masing.
"Juga seperti pemakaian cadar, tidak semuanya bisa memakainya dengan sebab-sebab kondisi tertentu. Katakanlah seperti Nyak-nyak pedagang sayur di pasar atau perempuan yang berjualan karena bisa mengganggu komunikasi dengan pembeli. Tapi sebaliknya, bagi yang memakai cadar pun tidak boleh dilarang apapun alasannya karena sudah menjadi pilihan," sebutnya.
Dalam konteks kekinian Aceh, Ustaz Jabbar Sabil juga menyinggung tentang pelaksanaan uqubat cambuk di Aceh dengan adanya Pergub, di satu sisi ingin tetap terbuka dan di lain pihak ingin digelar cambuk di dalam Lapas yang terbatas.
"Pelaksanaan hukum cambuk sebagai bagian implementasi syariat Islam untuk bisa disaksikan oleh masyarakat itu sekaligus bisa menjadi ibadah.
Tapi jika mendiskreditkan dan memojokkan pelaku yang dihukum cambuk dengan mengabadikan dosanya lewat rekaman gambar juga tidak baik," ungkapnya.
Ustaz Jabbar Sabil juga mengajak masyarakat muslim Aceh untuk menjadikan semua aktivitas kesehariannya bisa bernilai ibadah untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT.
Termasuk juga saat kita mencari hiburan dalam bentuk seni, hiburan itu juga harus jadi ibadah. Bukan justru justru hiburan yang mempertontonkan maksiat, erotisme, syahwat dan membuka aurat. Begitu juga dengan teknologi juga harus bernilai ibadah. Apakah selama ini teknologi yang kita pakai sudah bernilai ibadah, atau justru teknologi itu jadi tempat maksiat.
"Ini yang harus kita pahami. Dengan adanya teologi moderat ini, akan membuat kita tidak saling menyalahkan dan jangan terlalu picik memahami sesuatu dengan terlalu mudah menyalahkan pihak lain," terangnya.
Tidak ada komentar: