Ini Sebab Umat Islam Marah Jika Alquran Dilecehkan
KWPSI.ORG -- Umat Islam akan merasa sangat marah dan bereaksi keras melawan pihak-pihak yang melakukan pelecehan dan penistaan terhadap Alquran sebagai kitab suci yang merupakan mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW.
Lantas apa sebenarnya penyebab yang membuat umat ini merasa marah, apalagi jika sampai ada yang mengatakan umat Islam jangan mau dibohongi dengan ajaran Alquran.
Staf pengajar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Ustaz Dr H Mizaj Iskandar Usman Lc LLM memaparkannya secara tegas pada pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Rabu (7/12) malam. Pengajian yang dimoderatori Teuku Farhan ini mengngkat tema, "Sejarah hancurnya umat dan bangsa maju terdahulu".
Menurutnya, Alquran secara sederhana sering didefinisikan sebagai kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Tidak ada yang salah dengan definisi ini, namun jika ditelusuri lebih dalam, sebenarnya Alquran lebih dari sekadar kalamullah.
Ia merupakan ide-ide dan cita-cita dari Tuhan semesta alam yang diperuntukkan sebagai petunjuk bagi segenap umat manusia (hudan linnas) dan petunjuk bagi orang yang bertakwa (hudan lil muttaqin).
Tuhan sebagai zat yang maha mutlak, absolut dan distingtif memiliki ide dan cita-cita yang juga mutlak, absolut dan distingtif yang sulit sekali dipahami manusia biasa pada umumnya. Karenanya, Allah memilih seorang manusia yang memiliki kemampuan di atas rata-rata manusia yang lain untuk dapat menampung ide dan cita-cita Tuhan Yang Maha Mutlak, absolut dan distingtif tersebut, yaitu Nabi Muhammad SAW.
Ide dan cita-cita Allah tersebut kemudian mengambil dua bentuk melalui lisan atau ucapan Nabi Muhammad SAW, yaitu, Pertama, Alquran, dan kedua, hadis Rasulullah SAW. Kedua-duanya sering dibahasakan oleh ulama sebagai wahyu yang berkelindan di dalam diri Nabi Muhammad SAW.
"Dari penjelasan tersebut, dapat memahami secara filosofis-teofanik kenapa umat muslim begitu marah jika Alquran dan Nabi Muhammad SAW dilecehkan. Karena Alquran sebenarnya tidak sebatas kalamullah yang telah mengambil bentuk di dalam bahasa Arab verbal, namun lebih dari itu merupakan pengejawantahan ide-ide dan cita-cita sejati Tuhan semesta alam untuk makhluknya yang bernama manusia. Namun terkadang manusia tidak menyadari hal itu, sehingga kitab petunjuk tersebut sering diabaikan dan terabaikan," ujar Wakil Ketua Bidang Litbang Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) Aceh ini.
Kemudian, lanjut Ustaz Mizaj Iskandar, Nabi Muhammad SAW sebagai satu-satunya manusia yang mampu menangkap secara langsung semua ide-ide dan cita-cita tersebut merupakan makhluk suci (ma’shum) yang melaluinya kita dapat mengetahui ide-ide dan cita-cita tersebut. Tanpa mediasi dari Nabi Muhammad sukar bagi kita mengetahui dan mengenal Tuhan Sang Maha Pencipta (law la murabbi ma ‘araftu rabbi).
Pada periode dakwah Mekkah, Nabi Muhammad menyebarkan ide-ide dan cita-cita tersebut di sebuah rumah dari salah seorang sahabat yang dikenal dalam sejarah dengan nama Darul Arqam.
Ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, Rasulullah membangun Masjid Nabawi yang selain digunakan sebagai tempat ibadah, juga digunakan sebagai sentral penyebaran ide-ide dan cita-cita Tuhan. Pada tahun 6 hijriah, terdapat sekitar 80 orang sahabat Nabi yang secara khusus mempelajari ide-ide dan cita-cita Tuhan, salah seorang diantaranya bernama Abu Hurairah.
Rasulullah kemudian menyediakan tempat khusus bagi mereka pada empat shaf dari belakang mesjid Nabawi, tempat tersebut lebih dikenal dengan sebutan shuffah.
Pada masa Usman bin Affan menjadi khalifah ketiga, terjadi perluasan Masjid Nabawi, saat itu penuntut ide-ide dan cita-cita Tuhan (penuntut ilmu) “tergusur” dari shuffah. Sebagai gantinya, khalifah Usman menyediakan pojokan-pojokan (zawiyah, Aceh: dayah) sebagai sentral baru penyebaran ide-ide dan cita-cita tersebut.
Kemudian pada masa dinasti Bani Umayyah berkuasa, kembali Masjid Nabawi diperluas. Perluasan kembali berkonsekuensi “digusurnya” para penuntut ilmu. Oleh penguasa dinasti Bani Umayyah, para penuntut ilmu ini direlokasi pada suatu tempat yang dikenal dengan ribath, yaitu bangunan khusus yang dibangun untuk penuntut ilmu yang dinding-dindingya masih melekat dengan Masjid Nabawi.
Pada akhirnya, ketika dinasti Bani Abbasiyah berkuasa, kembali Masjid Nabawi diperluas. Perluasan ini kembali mengharuskan para penuntut ilmu direlokasi dari ribath. Penguasa dinasti Bani Abbasiyah akhirnya membangun funduq-funduq (pondok-pondok) yang bangunannya sudah bergeser jauh dan tidak lagi melekat dengan Masjid Nabawi.
Saat ini, funduq-funduq tersebut telah berubah fungsi menjadi penginapan bagi jamaah haji dan umrah (hotel).
Dalam konteks keacehan, ulama-ulama Aceh dulu lebih senang menggunakan istilah dayah (zawiyah) sebagai sentral penyebaran ide dan cita-cita Tuhan. Di mana ulama-ulama di tanah Jawa lebih senang mengambil istilah pondok (funduq) sebagai central penyebaran ide dan cita-cita tersebut.
Tidak ada komentar: