Jangan Sembarangan Melontarkan Janji
Dalam pengajian KWPSI Rabu (26/3) malam, H Mutiara Fahmi Lc MA, memaparkan panjang lebar tentang sejarah dan kedudukan politik dalam Islam. “Sebenarnya jika kita kaji mendalam, secara normatif maupun historis, banyak sekali dalil yang bersumber dari ayat dan hadis yang membicarakan masalah politik. Begitu juga secara historis banyak sekali menceritakan tentang keurgensian politik dalam Islam,” tutur Mutiara.
Dalam kitab Al-Ahkam as-Sultaniyyah karya Al-Mawaridi menjelaskan, fungsi khalifah penganti Rasulullah Saw, bukan untuk melanjutkan kenabian, tapi mempertahankan eksitensi Islam dan mengatur pemerintahan untuk mensejahterakan rakyat.
Terkait boleh tidaknya multi partai dalam perpolitikan Islam, Mutiara Fahmi menjelaskan, proses pemilu yang sedang berjalan saat ini sebenarnya juga sudah ada dalam sejarah Islam. Di mana, ketika Nabi Muhammad Saw wafat, para sahabat terpilah-pilah dalam berbagai kelompok untuk mendukung khalifah dari sukunya masing-masing.
“Kaum Anshar mengkampayekan ketokohan sahabat-sahabat yang layak menurut meraka, begitu juga kaum Muhajirin, Bani Sa’adah dan suku-suku lain. Ini adalah bentuk kampanye yang kita kenal dalam sistem pemilu yang modern, meskipun teknis dan media yang digunakan (saat itu) seadanya,” ungkap Mutiara. Begitu juga pemungutan suara di Tempat Pemilihan Suara (TPS), itu sama halnya pembaiatan yang dilakukan secara perorang dan berkelompok datang membaiat Abu Bakar sebagai khalifah pertama.
“Coblos di zaman sekarang bisa dianalogikan dengan baiat zaman dahulu. Karena tidak mungkin kita datang ke Jakarta untuk berjabat tangan dengan Presiden pilihan kita. Yang terpenting di sini adalah subtansinya ada. Soal mekanisme itu disesuaikan menurut zaman,” papar kandidat doktor pada Cairo University Mesir ini.
Menanggapi pertanyaan tentang caleg yang mempromosikan diri untuk dipilih, sehingga kerap dianggap sebagai orang-orang yang mencari jabatan, Ustaz Mutiara Fahmi menjelaskan, “Saya pikir itu bukan mencari jabatan, melainkan menawarkan diri karena memang negara, melalui KPU atau KIP itu, sedang membuka kesempatan dan mencari orang-orang terbaik untuk menjadi wakil rakyat di parlemen. Tapi kita juga mesti tahu diri, kalau memang tidak layak, atau tidak mampu memikul amanah, sebaiknya jangan ikut,” ujarnya.
Dosen Politik Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, H Mutiara Fahmi Lc MA, mengingatkan para calon anggota legislatif (caleg) untuk tidak sembarangan melontarkan janji, pada saat kampanye maupun dalam pertemuan dengan warga. Karena janji akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Dewan Musytasar Yayasan Tgk Hasan Krueng Kalee yang tengah menempuh program doktor pada Cairo University, Mesir ini mengisi materi tentang “Urgensi Fiqh Siyasah dalam Dunia Perpolitikan untuk Menciptakan Kedamaian Abadi”.
“Dalam Islam, janji itu adalah utang. Tentu utang wajib dibayar dan mengingkari janji adalah dosa besar. Baik janji yang tertulis maupun janji yang tidak tertulis (diucapkan). Apalagi janji kampanye yang menyangkut hajat orang banyak dan disampaikan kepada publik, tentunya lebih wajib ditunaikan,” ungkap Ustaz Mutiara Fahmi.
Ia menyebutkan, cukup banyak ayat Alquran dan hadits Rasulullah yang mengatur tentang janji. Di antaranya adalah pada ayat pertama dari surat Al-Maidah ayat 1 “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad (janji-janji) itu....”. Penelusuran Serambi dari wibsite alquran-indonesia.com, aqad (perjanjian) dalam ayat tersebut mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.
Pada ayat lain, Allah Swt berfirman “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra`: 34). Sementara pada surat Ash-Shaff ayat 1 dan 2 Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”.
“Lalu apakah janji dalam kampanye boleh ditagih? Tentunya jika janji itu tidak melanggar dengan perintah Allah boleh ditagih, sama halnya dengan utang. Kendati demikian harus melihat kondisi orang ditagih apakah sudah mampu memenuhi janji atau belum,” ujar Ustaz Mutiara Fahmi.
Sebagaimana firman Allah dalam surah Albaqarah ayat 280: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.
“Namun sebaliknya, sudah sanggup melunasi utang atau memenuhi janji tidak ditunaikan maka bentuk penganiayaan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwatkan oleh Bukhari dan Muslim: ‘Penangguhan pembayaran utang oleh yang mampu adalah penganiayaan’,” kata Ustaz Mutiara.(nal)
Tidak ada komentar: