Aceh Harus Bangun Kembali Tradisi Keilmuan Islam
Aceh yang pernah berjaya sebagai pusat peradaban Islam di Asia Tenggara diharapkan dapat membangun kembali tradisi keilmuan Islam yang selama ini telah hilang akibat tergerus zaman dan minimnya kepedulian pemerintah.
Hal ini perlu menjadi perhatian semua pihak dalam upaya membangkitkan kembali keilmuan Islam di Aceh, sehingga bisa disegani dunia luar sebagaimana zaman Kesultanan Aceh.
Pernyataan itu disampaikan Budayawan dan Kolektor Manuskrip Kuno Aceh, Tarmizi A. Hamid pada acara Halal Bi Halal dan Dialog Khasanah Budaya dengan tema, "Membangun Tradisi Keilmuan Islam di Aceh" yang digelar BPR Mustaqim Sukamakmur, di Lampeuneureut, Aceh Besar, Jum'at (24/7) sore.
Tarmizi mengungkapkan, tinta emas para intelektual Islam masa lalu sekaliber Hamzah Fansury, Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Syekh Abdul Rauf As-Singkili (Tgk Syiahkuala ) dan ulama lintas zaman lainnya, yang ditulis di media kertas telah menghiasi keilmuan Islam yang sangat tinggi di sentero Asia. Semua ulama tersebut telah menghabiskan umurnya dalam tradisi tulis menulis dengan beribu judul kitab kuno (manuskrip) di Aceh.
"Keilmuan Islam dalam kitab-kitab tersebut di semua aspek sesuai dengan kebutuhan para pencari ilmu yang berbondong-bondong migrasi ke Aceh pada zaman tersebut. Negara-negara Islam lainnya pada masa itu memandang Aceh sebagai pusat pengembangan keilmuan yang berperadaban sangat tinggi, Aceh sangat aspiratif, dalam mengelola berbagai kepentingan hajat hidup semua bangsanya," kata Direktur Rumoh Manuskrip Aceh ini.
Sementara pada sesi kedua, Peneliti Naskah Kuno (Filolog) Aceh, Hermansyah lebih khusus menghantarkan beberapa keilmuan yang ada dalam manuskrip serta perkembangan pembangunan keilmuan manuskrip di negara-negara maju yang semua negara tersebut berstatus bukan negara Islam.
Diantara negara yang sangat berminat dengan manuskrip kuno Aceh adalah Inggris, Amerika, Jerman, Australia dan Jepang. Negara-negara tersebut berlomba-lomba untuk membuat pusat studi Islamic dan lembaga penelitiannya khususnya dengan manuskrip yang berbahasa Arab, Melayu dan Aceh sendiri.
Sumber : radioantero.com
Tidak ada komentar: