KWPSI: Pemblokiran Situs Islam Bukan Solusi Cegah Radikalisme
Muhammad Ifdhal |
Banda Aceh - Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) Provinsi Aceh menyakatan
pemblokiran situs media Islam oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi bukanlah
sebuah solusi yang tepat untuk mencegah tindakan radikalisme di masyarakat.
"Sebenarnya
bukan situs yang perlu ditutup, tetapi langkah yang perlu dilakukan adalah
memperkuat pemahaman kepada setiap warga negara," kata Juru Bicara KWPSI
Aceh, Muhammad Ifdhal menanggapi penutupan puluhan situs Islam oleh
Kemenkominfo di Banda Aceh, Kamis (2/4).
Sebelumnya
Kementerian Komunikasi dan Informatika telah melakukan pemblokiran terhadap 22
situs yang dinilai radikal atas permintaan Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme.
Ia
menjelaskan dengan meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai agama
maka sulit untuk dipengaruhi oleh pihak-pihak yang ingin merusak citra Islam
dan mempengaruhi pola pikir setiap warga masyarakat.
"Jika
semua warga memahami dengan kuat nilai-nilai agama maka sulit untuk dipengaruhi
baik melalui media sosial atau media lainnya," katanya.
Ifdhal
mengatakan paham radikalisme tidak hanya melalui situs, tetapi juga dilakukan
dengan mendatangi warga yang efeknya lebih berat.
Karena
itu, Pemerintah Jokowi-JK perlu melibatkan semua elemen mulai dari guru, orang
tua, ulama dan pemangku kepentingan dalam menanamkan nilai-nilai agama sebagai
benteng bagi setiap warga negara.
"Kami
yakin dengan benteng yang kuat sulit dipengaruhi oleh berbagai paham yang dapat
merusak pola pikir dan tindakan dari paham itu,"katanya.
KWPSI
juga menilai penutupan situs Islam oleh Kemenkominfo atas dasar permintaan
Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) juga bagian dari pelanggaran
Undang Undang kebebasan pers dan mengkerdilkan Islam.
"Pemblokiran
terhadap situs Islam oleh BNPT telah menutup ruang dakwah bagi umat Islam di
Tanah Air. Langkah BNPT telah menciderai semangat kebebasan berpendapat dan
menganggap semua yang berbau Islam itu radikal yang harus dilenyapkan,"
tegas Ifdhal yang juga Wartawan LKBN Antara Biro Aceh ini.
Dikatakannya,
pemblokiran situs media Islam ini memberangus kebebasan berpendapat warga
negara yang merupakan hak asasi yang diatur dalam Pasal 28F Undang-undang Dasar
1945. "BNPT tidak melakukan kajian matang atas pemblokiran yang dimintakan
ke pihak Kemenkominfo," sebutnya.
Pemblokiran
tersebut didasari oleh Surat dari BNPT No.149/K.BNPT/3/2014 kepada Kemenkominfo
untuk memblokir situs media Islam online yang disinyalir mengajarkan paham
radikal.
Karenanya,
KWPSI meminta BNPT dan Kemenkominfo mencabut kembali kebijakan itu dan membuka
pemblokiran situs-situs Islam. KWPSI mendesak BNPT merespons setiap persoalan
di Tanah Air yang berkaitan dengan kegiatan bahaya radikalisme dengan
pendekatan keagamaan, bukan pendekatan permusuhan yang berujung kepada
pemberangusan media-media Islam yang mulai tumbuh dan memberikan kontribusi
besar bagi pemahaman keagamaan yang baik di dalam masyarakat.
KWPSI yang di dalamnya terdiri dari para wartawan lintas media, akademisi dan ulama ini mengajak semua elemen media Islam di Tanah Air untuk membangun satu wadah bersama menghadapi ketidakadilan bagi Islam dan muslimin di Tanah Air.
BNPT sejatinya memberi solusi akademik, agamis, dan pendekatan kultural bagi penyelesaian persoalan-persoalan faham radikal di Tanah Air. Bukan sebaliknya, melakukan perlawanan dalam kata perang yang hanya akan melahirkan permusuhan berkepanjangan.
KWPSI yang di dalamnya terdiri dari para wartawan lintas media, akademisi dan ulama ini mengajak semua elemen media Islam di Tanah Air untuk membangun satu wadah bersama menghadapi ketidakadilan bagi Islam dan muslimin di Tanah Air.
BNPT sejatinya memberi solusi akademik, agamis, dan pendekatan kultural bagi penyelesaian persoalan-persoalan faham radikal di Tanah Air. Bukan sebaliknya, melakukan perlawanan dalam kata perang yang hanya akan melahirkan permusuhan berkepanjangan.
Kemenkominfo
juga harus menjelaskan kepada publik secara jelas dan transparan tentang
bagaimana sesungguhnya mekanisme atau prosedur yang berlaku dalam menutup
sebuah situs yang dianggap membahayakan.
Karena sejauh
ini, ia menilai bahwa berbagai hal tersebut belum tersosialisasikan dengan
baik kepada masyarakat. "Kalau dilihat dari luar, proses pengambilan
keputusan untuk memblokir situs-situs tersebut cenderung dilakukan secara
tertutup," ujar Ifdhal.
Bila tiba-tiba
diblokir tanpa adanya tindakan-tindakan pendahuluan yang lazim seperti
peringatan, klarifikasi, lanjutnya, hal tersebut dinilai dapat merupakan
salah satu bentuk represif.
Ia menegaskan,
Pasal 11 ayat (1) huruf b UU No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
dan PERKI No 1/2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik telah menjamin
hak masyarakat untuk memperoleh informasi dari badan publik terkait semua
tahapan-tahapan dalam proses pengambilan keputusan, pertimbangan-pertimbang annya,
orang-orang yang terlibat, dan juga dokumen-dokumen pendukung lainnya.
Tidak ada komentar: