Ikuti Kajian Islam KWPSI
Setiap Rabu, Pk.21.00-23.00

Live di FB KWPSI

APBA Wajib di Bank Syariah

KETUA Dewan Pembina Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) yang juga Pemimpin Umum Harian Serambi Indonesia, H Sjamsul Kahar (tiga kanan) bersama Wakil Ketua Komite IV DPD RI, Drs Ghazali Abbas Adan (dua kanan) dan Rektor UIN Ar-Raniry, Prof Dr Farid Wajdi Ibrahim, MA (kiri) menjadi pembicara dalam diskusi FGD kerja sama KWPSI- DPD RI dengan tema "Hidup Bersama Riba di Negeri Syariat (Bedah Pasal 21 Qanun No 8/2014)", di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Banda Aceh, Selasa (3/3). SERAMBI/BUDI FATRIA 

BANDA ACEH - Pemerintah Aceh didesak untuk segera memindahkan penempatan dananya (APBA) ke bank berprinsip syariah. Selama ini, dana-dana pemerintah sebagian besarnya masih disimpan di Bank Aceh konvensional.
Soal penempatan dana ini diatur secara tegas dalam Qanun Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam. Ketentuan ini juga berlaku untuk Pemerintah Kabupaten/Kota se-Aceh.
Desakan pemindahan dana itu mencuat dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI bekerjasama dengan Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI), di Kupi Luwak Rumoh Aceh, Jeulingke, Banda Aceh, Selasa (3/3). Tema yang diangkat, ‘Hidup Bersama Riba di Negeri Syariah, Bedah Pasal 21 Qanun Nomor 8 Tahun 2014’. Kegiatan tersebut menghadirkan narasumber Wakil Ketua Komite IV DPD RI Drs Ghazali Abbas Adan, Ketua Dewan Pembina KWPSI/Pimpinan Umum Harian Serambi Indonesia H Sjamsul Kahar, dan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Prof Dr Farid Wajdi Ibrahim MA.
Selain itu, juga hadir Pakar Perbankan Syariah UIN Ar Raniry, Dr Yasir Yusuf, anggota DPRA Bardan Sahidi, Staf Ahli Gubernur Aceh Jakfar SH MHum, Direktur Syariah Bank Aceh, Haizir Sulaiman, ulama muda Masrul Haidi LC, dan peserta lain dari wartawan, mahasiswa, dan masyarakat.
Untuk diketahui, Pasal 21 Qanun Nomor 8 Tahun 2014 menyebutkan, ayat (1) lembaga keuangan yang akan beroperasi di Aceh harus berdasarkan prinsip syariah, ayat (2) lembaga keuangan konvensional yang sudah beroperasi di Aceh harus membuka Unit Usaha Syariah (UUS), ayat (3) transaksi keuangan Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota wajib menggunakan prinsip syariah dan atau melalui proses lembaga keuangan syariah, dan ayat (4) ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga keuangan syariah diatur dalam Qanun Aceh.
Pakar Perbankan Syariah UIN Ar Raniry, Dr Yasir Yusuf, menjelaskan Qanun Nomor 8 Tahun 2014 merupakan amanah UUPA. “Perintah dalam qanun sangat tegas, wajib,” katanya.
Yasir mengatakan, persoalan ekonomi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari syariah. Apabila ekonomi timpang, maka yang lain akan ikut bermasalah.

Menurutnya, penciptaan keadilan ekonomi sangat penting untuk memberantas masyarakat terkena hukum jinayah. “Lembaga syariat Islam di Aceh tiada lain selain Bank Syariah, sementara bank konvensional harus menjadi unit bank syariah,” katanya.
Wakil Ketua Komite IV DPD RI Drs Ghazali Abbas Adan juga mengatakan hal yang sama. Ia menegaskan, perintah qanun tersebut wajib dilaksanakan. Pemerintah Aceh tidak boleh hanya menjalankan qanun-qanun tertentu yang bersifat pribadi atau kelompok.
“Seperti Qanun Lambang dan Bendera dan Qanun Wali Nanggroe, itu sampai kap igoe (diperjuangkan). Nah kenapa untuk hal yang prinsip seperti ini tidak dilaksanakan? Ini kan menyangkut aqidah,” pungkas Ghazali.
Ketua Dewan Pembina KWPSI, H Sjamsul Kahar, juga sependapat kalau ekonomi syariah di Aceh belum terlaksana dengan baik. Menurut dia, masalah sebenarnya adalah komitmen Pemerintah Aceh dan political will. “Kita prihatin modal untuk Bank Aceh Syariah hanya Rp 20 miliar. Ini nggak ada artinya,” ucapnya.
Menurut Sjamsul Kahar, percuma Aceh punya undang-undang syariat Islam apabila sarana perbankan saat ini belum begitu maksimal, dan untuk mewujudkan hal ini dibutuhkan keseriusan dari pemerintah. “Yang dapat merubah ini adalah pihak yang mempunyai power, apa lagi menyangkut dengan anggaran. Tapi tampaknya, dalam dua periode Pemerintah Aceh belum muncul keseriusan dalam mengatasi masalah perbankan syariah,” imbuh Sjamsul Kahar.
Desakan yang sama juga disampaikan Rektor UIN Ar Raniry Farid Wajdi. Dia mengatakan, qanun itu wajib dilaksanakan. Tidak melaksanakan, berarti tidak mendukung pelaksanaan Syariat Islam. “Tidak melaksanakan, mereka tidak sepatutnya tinggal di pendopo. Mereka harusnya di penjara,” tegas Rektor UIN Ar Raniry tersebut.
Dia menambahkan, yang harus dipahami bahwa tidak ada sejengkal tanah di Aceh yang tidak bersyariat Islam. Pemerintah atau pemimpin harus mengikuti syariah dan menjalankannya. “Jangan hanya menikmati fasilitas negara saja tapi tidak melaksanakan syariat Islam,” tambah dia.

Amatan Serambi, dalam kegiatan itu sempat terjadi saling menyalahkan antara Pemerintah Aceh dengan Bank Aceh, terkait pembentukan Bank Aceh Syariah. Menurut staf ahli Setda Aceh, Jakfar, posisi Pemerintah Aceh hanya berwenang menyiapkan regulasi tentang bank berbasis syariah.
Sementara Direktur Syariah Bank Aceh, Haizir Sulaiman mengungkapkan, Unit Usaha Syariah sudah sudah siap berdiri sendiri, terpisah dari induknya (spin off). Sekarang hanya tinggal menunggu modal dari Pemerintah Aceh.
“Dari sisi karyawan kita sudah siap, IT sudah punya, dan aset sudah mencapai Rp 2 triliun. Sekarang tinggal pisah saja, nah syaratnya cuma modal,” ucap Haizir Sulaiman.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lanjut Haizir, berharap Bank Aceh Syariah bisa berdiri sebelum Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2020 berlangsung. “Jadi sekarang waktunya yang paling tepat sehingga kita bisa lebih siap,” tambah Haizir.(yos/mz)

Sumber : Serambinews.com

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.