Syariat Islam Harus Menjadi Kultur dalam Masyarakat Aceh
KWPSI, Banda Aceh -Penerapan syariat Islam yang saat ini berlaku di wilayah Aceh diharapkan bisa menjadi kultur secara menyeluruh dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat dan pelayanan pemerintahan yang sesuai dengan ajaran syariat itu sendiri.
Sementara yang baru terlihat selama ini, syariat Islam masih pada tataran struktural berupa aturan normatif dan regulasi hukum dalam bentuk qanun syariat serta aspek ibadah mahdhah saja.
Demikian antara lain disampaikan Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Prof. Drs. H. Yusny Saby, MA, P.hD saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Rabu (21/1) malam.
"Dengan berjalannya penerapan syariat Islam di Aceh, kita berharap tidak hanya struktural dalam bentuk aturan hukum saja, tapi juga menjadi kultural atau budaya masyarakat dan pemerintahan kita," ujar Yusny Saby.
Menurutnya, syariat Islam yang struktural itu normatif yang mengacu kepada ketentuan-ketentuan hukum syariat yang ada di ajaran Islam, sedangkan Islam kultural yang menjadi budaya Islami merupakan bentuk aplikatif implementasi syariat itu sendiri dengan realita yang ada pada praktek di lapangan atau di masyarakat sesuai isi kandungan Al-Qur’an dan Hadits.
Dengan terwujudnya syariat Islam yang kultural, maka segala bentuk hubungan hablum minannas (sesama manusia) dalam kehidupan sehari-hari umat Islam menjadi nilai-nilai ibadah di dalamnya. Misalnya, dalam hal pelayanan publik oleh pemerintah kepada masyarakat merupakan bagian dari ibadah. Begitu juga halnya dengan berbagai kegiatan muamalah lainnya.
"Karenanya, siapa saja yang ditugaskan melayani publik di pemerintahan tapi tidak melayaninya dengan baik sesuai ajaran syariat Islam, maka itu akan menjadi dosa, sehingga bau surga saja dia tidak dapat di akhirat kelak," ungkap Yusny.
Jika implementasi syariat Islam kultural sudah berjalan, maka berbagai perbuatan menyimpang seperti korupsi, sogok menyogok, tidak baiknya pelayanan birokrasi, perbuatan mendhalimi dan menghina orang lain, serta berbagai tindakan lainnya yang tidak sesuai dengan ajaran syariat Islam, akan hilang dengan sendirinya di tengah-tengah umat Islam.
Syariat Islam kultural perlu digerakkan secara intensif di tengah masyarakat dan pemerintah Aceh dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat seperti pendidikan, ekonomi, sosial, budaya dan pelayanan publik, sehingga inti dari nilai-nilai syariat lebih terasa.
"Nilai-nilai syariat juga terlihat dari pelayanan publik berjalan bagus, pegawai disiplin, kantor bersih, masyarakat patuh pada aturan, pemerintahan jauh dari korupsi dan sogok menyogok, sistem ekonomi sesuai ajaran syariat, warung-warung syariah, kehidupan sekolah madani, masjid-masjid bersih dan lainnya," ungkapnya.
Selama ini kita beranggapan, syariat Islam itu sudah berjalan jika hukum-hukum syariat itu sudah terlaksana jika ada pelanggaran-pelanggaran syariat seperti hukum cambuk. Padahal, hukum cambuk itu dilaksanakan karena memang ada syariat yang tidak berjalan di tengah masyarakat.
"Kita jangan terlalu bangga dengan pelaksanaan hukum (uqubat) cambuk, karena itu dilaksanakan disebabkan ada aturan syariat yang tidak berjalan. Idealnya, kita memang berharap jangan ada pelanggaran syariat agar tidak ada hukuman cambuk. Ketika sudah terjadi pelanggaran, maka hukum juga harus berjalan untuk menindak pelanggaran," terangnya.
Pada kesempatan itu, Prof Yusny Saby juga mengungkapkan, saat ini Aceh diserang oleh hal-hal yang anti syariat lewat berbagai media seperti televisi dan internet, peredaran narkoba, kenakalan remaja dan lainnya.
"Serangan-serangan anti syariat Islam saat ini terus masuk Aceh tanpa bisa dibendung lewat tayangan Televisi, narkoba, dan cara berpikir masyarakat yang jauh dari agama. Karenanya, kita harus mampu menjawab tantangan dan serangan itu dengan menyiapkan masyarakat Islam kultural untuk membentengi diri dari serangan anti syariat tersebut dengan moral dan akhlak yang baik," harapnya.
Tidak ada komentar: