Aceh Kehilangan Tokoh Perekat
KRISIS moral yang terjadi di Aceh, disebabkan oleh hilangnya tokoh-tokoh perekat di Aceh, tokoh-tokoh perekat seperti ulama yang disegani kini tidak ada ditemukan lagi di Aceh, sehingga masyarakat Aceh tidak kompak dan mudah terpecah-belah. Akibatnya, program pemberlakuan Syariat Islam di Aceh tidak berjalan lancar, meskipun program pemerintah pusat itu disusun atas keinginan masyarakat Aceh, namun penerapannya di lapangan tertatih-tatih sejak diberlakukan sembilan tahun lalu.
Hal itu disampaikan Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Lhokseumawe, Tgk H Asnawi Abdullah MA, pada Pengajian Rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Banda Aceh, Rabu (13/8) malam.
Ini adalah pengajian perdana setelah libur Ramadhan dan Idul Fitri 1435 H. Pengajian yang diikuti kalangan wartawan, perwakilan Badan Pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD) Aceh, mahasiswa, dan masyarakat umum, dibuka secara resmi oleh Sekjen KWPSI, Muhammad Saman.
Dalam pengajian bertema “Krisis Akhlak Ummat Islam”, Tgk Asnawi Abdullah, menguraikan panjang lebar tentang kondisi masyarakat Indonesia, termasuk Aceh, yang masih mengalami dekadensi moral.
Asnawi Abdullah mengatakan, sebagai kendala internal, kehilangan tokoh panutan sebagai perekat warga Aceh, mengakibatkan warga Aceh tidak patuh terhadap kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah, karena masyarakat menganggap, mereka-mereka yang duduk di pucuk pimpinan tidak layak diikuti dan dicontoh, karena tidak punya karisma sebagai tokoh perekat dan pemersatu. Akibat kehilangan tokoh panutan itu, banyak program-program Pemerintah Aceh termasuk program pemberlakuan syariat Islam tidak berjalan semestinya.
Banyak tokoh-tokoh perekat yang sudah meninggal dunia, dan tidak ada pengggantinya yang memiliki karisma setingkat dengan tokoh yang meninggal dunia itu.
Berbeda dengan proses penerapan Syariat Islam di Brunai Darusalam, warga kerajaan itu sangat patuh terhadap kebijakan rajanya, sehingga penerapan Syariat Islam di negeri kerajaan itu berjalan lancar. Sementara di Aceh, simbol-simbol tokoh pemersatu itu sulit dicari dan tidak ada yang menjadi tokoh perekat masyarakat. “Saya berharap Wali Nanggroe akan berperan sebagai pemersatu dan perekat masyarakat Aceh, namun keberadaan lembaga Wali Nanggroe itu masih jauh dari harapan,” ujar Asnawi Abdullah.
Meskipun begitu, katanya, mengisi kekosongan tokoh perekat tadi, maka diperlukan undang-undang atau qanun yang disusun oleh Pemerintah Aceh dan dijalankan secara kaffah oleh masyarakatnya. Namun Qanun Jinayah yang diharapkan, hingga kini belum juga disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Untuk itu, katanya, pemimpin dan masyarakat Aceh harus kompak untuk mendorong kehidupan syariat Islam di Aceh, tidak saling gunjing, namun harus saling mendukung antara berbagai komponen masyarakat Aceh.(min)
Tidak ada komentar: